ikut bergabung

Menyingkap Humanisme Kejaksaan Agung


Berita

Menyingkap Humanisme Kejaksaan Agung

MAKASSAR, UJUNGJARI–Tidak hanya soal penindakan hukum, sisi humanisme Kejaksaan Agung era ST Burhanuddin juga lebih terasa dalam kebijakan Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 yang diundangkan pada 22 Juli 2020 diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring) selesai tanpa ke meja hijau. Dari mulai dikeluarkannya Perja itu, sudah sebanyak 222 perkara telah dihentikan Jaksa di seluruh tanah air.

Dikeluarkannya Perja ini untuk merestorasi kondisi ke semula sebelum terjadi “kerusakan” yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang (tersangka). Orang yang “berhak” menerima Restorative Justice ini ialah yang baru pertama kali melakukannya, kerugian di bawah Rp 2,5 juta, dan terjadi kesepakatan antara pelaku dan korban. Perja ini juga mencoba untuk meminimalisir over capacity Lapas yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia.

Selain itu, muatan Perja ini juga terkandung untuk meminimalisir penyimpangan kekuasaan penuntutan serta memulihkan kondisi sosial secara langsung di masyarakat. Ini juga menjadi salah satu kebijakan dalam menjawab keresahan publik tentang hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas yang selama ini seolah menjadi kelaziman. Saya percaya bahwa peraturan ini adalah hasil dari kontemplasi Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memberikan kepastian hukum bagi kalangan masyarakat biasa.

Policy ini digaungkan ST Burhanuddin di level internasional. Dalam acara bertema “Integrated Approaches to Challenges Facing the Criminal Justice System”. Burhanuddin menyampaikan metode restorative justice dalam peradilan pidana Indonesia merupakan pendekatan terintegrasi dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga penjatuhan putusan pengadilan. Burhanuddin menyebut restorative justice dapat mempersingkat proses peradilan yang berkepanjangan serta menyelesaikan isu kelebihan kapasitas narapidana di lembaga pemasyarakatan (detik: 10/03/2021).

Baca Juga :   Bupati Enrekang Ikuti Rapat MCP Bersama KPK

Melihat capaian tersebut, pilar reformasi di tubuh Kejaksaan Agung kembali berdiri. Namun demikian, air yang paling jauh dari sumbernya biasanya tidak terlalu jernih. Begitu juga dengan Kejaksaan. Organisasi yang sangat besar tersebut tentu perlu effort besar juga untuk mengawalnya supaya tetap jernih. Seorang Burhanuddin saja tidak akan cukup untuk mengembalikan Marwah Kejaksaan. Diperlukan peran kita sebagai masyarakat. (*)

dibaca : 74



Komentar Anda

Berita lainnya Berita

Populer Minggu ini

Arsip

To Top