MAKASSAR—Jeneponto merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang masuk kategori miskin. Dibandingkan dengan populasi penduduk di 23 kabupaten/kota lainnya di Sulsel, persentase warga miskin di daerah ini paling tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel, 2019 menunjukkan persentase rakyat miskin Jeneponto mencapai 14,88 persen dari total penduduk 409.693 jiwa.
Mayoritas mata pencarian warga Jeneponto adalah bertani. Hanya saja karena keterbatasan irigasi, aktivitas pertanian di daerah ini sangat ditentukan oleh musim. Hanya pada musim penghujan, petani bisa menggarap sawah dan kebun. Selebihnya, mereka banyak melakukan aktivitas lain. Sebagian besar memilih bekerja di Kota Makassar sebagai tukang becak atau tukang bentor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini sudah berlangsung puluhan tahun. Sudah cukup lama. Bahkan sejak zaman orde baru. Begitu juga status miskin. Jeneponto selalu masuk daerah tertinggal di Indonesia. Setiap BPS Sulsel merilis persentase penduduk miskin, Jeneponto selalu yang atas. Yang terbanyak rakyat miskinnya. Tetapi kini masa depan Jeneponto mulai bersinar. Pembangunan beberapa pembangkit listrik menjadikan daerah ini sebagai lumbung energi di Sulsel. Banyak kalangan meyakini kontribusi listrik ini bakal mengubah status Jeneponto keluar dari daftar kabupaten miskin di Indonesia.
Potensi Jeneponto bakal segera keluar dari zona miskin disampaikan Gubernur Sulsel, Prof Dr HM Nurdin Abdullah. Dalam kunjungan kerjanya ke daerah ini, Rabu, 6 Januari 2021, gubernur mengatakan Jeneponto berpotensi menjadi lumbung energi di Sulsel. Posisinya sebagai lumbung energi tentu akan menjadikannya sebagai pusat smelter yang merupakan fasilitas pengolahan hasil tambang.
Di Sulsel memang ada beberapa kabupaten yang memiliki pembangkit listrik. Tetapi jumlahnya tidak banyak. Pinrang misalnya hanya punya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bakaru. Kota Makassar punya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Di Wajo, ada Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Kemudian di Sidrap ada dua Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Berbeda halnya dengan Jeneponto. Di daerah ini justru justru hadir empat pembangkit listrik. Keempat pembangkit itu adalah PLTU Punagaya dengan kapasitas 2×100 megawatt, PLTU Jeneponto dengan kapasitas 2×135 mw, PLTB Tolo I dengan kapasitas 72 megawatt, dan PLTB Tolo II yang sementara dalam proses pembangunan. Tiga pembangkit yang sudah beroperasi itu telah memperkuat sistem kelistrikan PLN.
“Jeneponto akan menjadi lumbung energi dengan adanya sumber energi yang berasal dari tenaga bayu. PLTB Jeneponto memiliki kapasitas masing-masing 72 megawatt. Karena potensi anginnya paling tinggi dan paling berkualitas. Beberapa investor yang datang ke saya menyampaikan itu. Jadi saya kira salah satu syarat untuk mendirikan industri itu adalah listrik,” kata gubernur.
Gubernur yakin ketersediaan listrik akan menjadi daya tarik investor berinvestasi dan membangun industri di Jeneponto. Apalagi dalam waktu dekat ini, proyek irigasi di Kecamatan Kelara juga akan segera rampung. Ketersediaan listrik dan irigasi memadai tentu akan berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Optimisme serupa disampaikan Bupati Jeneponto, Iksan Iskandar. Dalam beberapa kesempatan Iksan menyampaikan kebanggaannya karena daerah yang dipimpinnya menjadi lumbung energi di Sulsel. Bupati yakin ketersediaan energi listrik ini menjadi modal utama dalam menata pembangunan yang orientasinya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keyakinan akan berkembangnya Jeneponto karena surplus listrik juga diungkapkan Jayadi Nas, Kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM PTSP) Sulsel. Pejabat pemprov kelahiran Jeneponto itu juga mengaku prihatin dengan keterbelakangan kampung halamannya selama ini. Tetapi Jayadi yakin dengan ketersediaan listrik yang sangat memadai, Jeneponto akan menjadi primadona investor dalam berinvestasi dan membangun industri.
“Sudah ada beberapa investor yang menyatakan keinginannya berinvestasi di Jeneponto karena pertimbangan ketersediaan listrik. Di Sulsel, hanya Jeneponto yang memiliki pasokan listrik lebih dari cukup. Di sana ada PLTU. Juga ada PLTB,” kata Jayadi.
Kembangkan EBT
Meski tergolong tertinggal, Jeneponto tetap berkontribusi besar dalam menerangi Indonesia. Hadirnya tiga pembangkit listrik di daerah ini menjadi bukti besarnya sumbangsih Jeneponto dalam menyediakan kebutuhan listrik untuk warga Sulsel. Apatah lagi dua dari tiga pembangkit yang ada itu sudah masuk dalam sistem kelistrikan PLN Sulselrabar.
Kontribusi konkret Jeneponto lainnya di bidang energi adalah karena sudah mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan membangun dua pembangkit tenaga bayu (angin). PLTB Tolo I dan PLTB Tolo II. Lokasinya di Kecamatan Binamu. Pembangunan PLTB Tolo I sudah rampung. Hanya PLTB Tolo II yang belum tuntas. Kedua pembangkit tenaga angina ini dibangun Vena Energy.
Country Head Vena Energy Arisudono Soerono menyatakan pembangunan PLTB Tolo II masih dengan kapasitas yang sama dengan PLTB Tolo I yakni 72 MW diperkirakan dilanjutkan pada 2023 mendatang. Saat ini pihaknya masih menunggu kesiapan dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PLN untuk fase kedua PLTB Tolo II.
Ia mengatakan PLTB Tolo merupakan pembangkit EBT yang masuk dalam sistem kelistrikan Sulawesi bagian selatan. Dengan total daya mampu sistem Sulbagsel mencapai 1.499 MW. Sistem ini memiliki beban puncak sebesar 1.165 MW dengan cadangan daya yang dimiliki mencapai 334 MW.
Saat meninjau pembangkit ini, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK) Kementerian ESDM Rida Mulyana menyatakan, PLTB Tolo merupakan bagian dari proyek percepatan pembangunan pembangkit 35.000 MW. Proyek ini sekaligus menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk dapat mencapai target bauran energi nasional 23 % dari EBT pada 2025.
Rida mengatakan sifat pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan yang intermitten menjadi tantangan sendiri bagi pengembang untuk mengoptimalkan pengoperasian. Isu prakiraan cuaca yang memengaruhi produksi listrik diharapkan dapat segera diatasi. (Fachruddin Palapa)