MAKALE, UJUNGJARI.COM –Pandemi Covid-19 yang belum jelas entah kapan berakhir berdampak kepada tekanan psycologis warga. Banyak orang hidup dalam kecemasan, bosan karena tidak menentu kapan korona mematikan ini berakhir.
Situasi ini membuat pelayanan berobat ke poli jiwa RSUD Lakipadada meningkat tajam lantaran kehidupan dipenuhi kecemasan. Pikiran terus was-was jangan sampai virus Corona sudah terinveksi. Karena cemas, banyak warga akhirnya susah tidur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terparah di Tana Toraja dan Toraja Utara sebab berdampak kepada aspek psikologi tingginya kasus bunuh diri (gantung diri).
Terbukti sepanjang tahun 2020 lalu angka bunuh diri meningkat tajam 30 kasus. Di Tana Toraja 14 kasus dan Toraja Utara 16 kasus. Sedangkan periode Januari-Februari tahun 2021 sudah 7 kasus. Tiga di Tana Toraja, dan empat di Toraja Utara.
Ahli psikiatri, dr Kristanti kepada awak media Jumat (5/2) pada diskusi fenomena bunuh diri yang difasilitasi KPU Tana Toraja banyak orang depresi di masa Pandemi Covid-19. Bahkan banyak juga orang di-PHK.
“Sebelumnya waktu berkumpul keluarga setelah pulang kerja. Nnamun karena di PHK waktu lebih banyak di rumah, hanya persoalan sepele sudah bertengkar. Belum lagi kebutuhan rumah tangga terus meningkat.
Demikian pula anak sekolah waktu belajar lebih banyak di media daring sehingga interaksi sosial terbatas. “Aktivitas lebih banyak di rumah membuat kita bosan, kesepian, tidak ada tempat curhat, sehingga mempengaruhi psycologi,” kata Kristanti.
Ia mengatakan ketidakpastian ini sampai kapan tidak pakai masker, jaga jarak, ekonomi keluarga merosot. “Kapan bisa jenguk keluarga dan orang tua di kampung karena kita di zona merah,” katanya lagi.
Menurut Kristanti, faktor orang bunuh diri persoalannya tidak tunggal. Melainkan ada faktor lain. Orang sehat dan normal tidak mungkin bunuh diri. Kecuali orang mengalami gangguan jiwa dan gangguan mental 90%.
Oleh karena itu, kata dia satu cara kita menanganinya adalah dengan deteksi dini gangguan jiwa yang ada di sekitar kita dan upaya apa saja yang kita lakukan.
Selain deteksi dini, kerjasama pemuka agama melakukan konseling agar terbuka persoalan pelik dihadapi dengan segera melakukan edukasi dan skrining.
Ditambahkan konselor pdt Jonan Tadius, interaksi dan timang-timang kepada anak sudah bergeser signifikan begitu kuatnya pengaruh android.
Perhatian dan interaksi family utuh dalam keluarga sudah bergeser. Gotong-royong pun berubah. Saling bertanya kesulitan dihadapi hampir tidak ada lantaran super kesibukan. Waktu mengajarkan kepada anak bagaimana jadi orang besar dan sukses serta membuat mental kuat dianggap sampingan.
“Karena itu faktor bunuh diri adalah manifestasi dari ketidakmampuan dan siap menerima sesuatu yang terjadi dengan diri kita karena stres dan depresi begitu kompleks dan bertubi-tubi persoalan dihadapi,” katanya.
Lihatlah apa yang baik dan tidak setuju dengan bunuh diri. Ia mengatakan interaksi dan persahabatan dipelihara, belajar psycologi sehingga menemukan solusi persoalan dengan hati dan akal sehat.
Kata Jonan Tadius, kebanyakan remaja milenial bunuh diri karena merasa tidak punya siapa-siapa
“Ayo kita pikirkan kenapa bunuh diri terjadi, jangan cuma kaget kalau ada kejadian, berpikirlah ada sesuatu yang hendak kita kerjakan bareng bergandengan tangan sehingga bersih semua,” pungkas Jonan Tadius. (agus).