ikut bergabung

Belajar dari Rasisme di Amerika


Berita

Belajar dari Rasisme di Amerika

Oleh Syamsuddin Radjab
(Pengajar Politik Hukum Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta
dan UIN Alauddin Makassar)

Malam ini (09-11 PM WIB-14/6/2020), mengikuti diskusi menarik soal rasisme di AS yang disampaikan oleh Stanley Harsha, mantan diplomat senior AS, pernah bertugas di Indonesia dan mantan jurnalis. Acara Webinar di pandu Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantra Foundation. Pesertanya macam-macam, lintas negara dan diaspora Indonesia.

Kematian George Floyd sejak 25 Mei 2020, demonstrasi di AS belum juga meredah bahkan gerakan itu menjalar kemana-mana, bukan saja didalam negeri AS juga ke negara-negara lain; eropa, asia, amerika latin dan Australia. Lintas benua, lintas negara, lintas ras dan lintas agama.

Pergerakan aksi demonstrasi itu, dalam pengamatan saya tidak lagi semata-mata sebagai aksi protes semata tetapi sudah bergerak ke tahapan penting dalam sejarah AS sendiri: 1). dari demonstrasi; 2). ke reformasi kepolisian dan 3). gerakan perubahan total kenegaraan terutama aspek kebijakan, perilaku dan regulasi negara.

Semua yang berbau imperialisme dan perbudakan tak luput jadi amukan demonstran: tempat, patung tokoh yang dianggap pendukung atau penggagas perbudakan dirobohkan dijalan-jalan utama dan taman kota. Dari patung Edward Colston hingga Christopher Columbus jatuh lantak ditanah tanpa ampun. Ini kemarahan stadium empat ras Afro-Amerika yang sudah lama membuncah.

Amerika, acapkali disanjung sebagai kampiun demokrasi dunia dibanyak negara, termasuk Indonesia, bahkan akademisi sekalipun. Namun, dengan kasus Floyd telah membuka mata dunia bahwa konsep demokrasi ala Amerika menyimpang banyak bopengnya dari muka manis, genit dan bahkan nakal dalam implementasinya.

Baca Juga :   Lagi, Komunitas Turatea Bersatu Bantu Korban Kebakaran Di Kalumpang

Stanley mengurai semua itu dalam diskusi malam ini secara gamblang, jelas dan tuntas. Saya menyimak dan mencatat betul tiap kalimat yang mengalir lancar dalam penyampaiannya.

Seperti kata Stanley, demokrasi Amerika tidak selalu cocok diterapkan pada negara lain, demokrasi harus bertumpuh pada nilai-nilai budaya sendiri di suatu bangsa dan negara.

Dua penyakit akut Amerika terkait dengan aksi saat ini yakni diskriminasi dan rasisme/perbudakan. Stanley kembali menegaskan bahwa di Amerika hingga saat ini sangat diskriminatif dalam soal penyediaan perumahan bagi kulit hitam.

Sebagai contoh, di kota New York sendiri klaster hunian sangat mencolok: Wilayah lower Manhattan untuk kelompok kaya raya dan kaum jetset Amerika, dimana Wall Street (NYSE) pusat keuangan dunia berada. Berbeda bak langit dan bumi dengan wilayah upper Manhattan: Harlem dan sekitarnya yang banyak dihuni kelompok Afro-Amerika padahal dalam satu lingkungan kota. Dan bukan hanya hunian tetapi juga fasilitas infrastruktur publik.

dibaca : 73

Laman: 1 2 3



Komentar Anda

Berita lainnya Berita

Populer Minggu ini

Arsip

To Top