Pemerintah mengeluarkan kebijakan stay at home dalam mencegah penularan virus korona covid-19. Semua aktivitas cukup dilakukan di rumah. Pegawai dan karyawan cukup bekerja dari rumah. Beribadah juga di rumah saja. Rumah ibadah untuk sementara ditutup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anak-anak sekolah juga belajar di rumah saja.Sekolah tatap muka diliburkan. Pembelajaran daring menjadi alternatif bagi siswa yang belajar di rumah. Banyak aplikasi pembelajaran online yang bisa dipilih dalam melakukan pembelajaran daring. Baik yang full interaktif maupun semi interaktif.
Tetapi ternyata kebijakan belajar di rumah tidak terlalu menyenangkan bagi sebagian anak sekolah. Sebaliknya, justru banyak anak sekolah yang menjadi stres karena belajar di rumah.
Fenomena banyaknya anak sekolah yang stres belajar di rumah itu terungkap dalam konsultasi layanan bimbingan psikososial yang dibuka Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar selama masa pandemik korona ini. Banyak anak sekolah dan orang tua siswa yang menggunakan jasa konsultasi ini karena stres.
Dekan Fakultas Psikologi UNM, Prof Muhammad Jufri mengatakan perasaan stres itu disebabkan lebih banyak oleh tiga hal. Pertama, siswa jenuh belajar online tanpa bisa diajak keluar rumah. Kedua, tugas dari guru yang sangat padat dan banyak membuat banyak siswa menjadi kesal. Lalu ketiga tekanan dari orang tua yang tidak sabar dan bahkan marah dalam mendampingi anak-anaknya belajar di rumah.
“Positifnya adalah orang tua paham bahwa tugas guru itu berat. Orang tua mendampingi dua anak saja agak kewalahan. Bagaimana dengan guru di sekolah yang harus mengajar tiga puluh siswa dalam satu kelas,” katanya.
Manfaat lainnya adalah dengan belajar di rumah, kesempatan orang tua berkomunikasi dengan anaknya lebih terbuka. Ada banyak waktu melakukan kegiatan bersama di rumah. Makan bersama. Salat berjamaah. Nonton televisi bersama. Bercanda dan berkomunikasi sesama anggota keluarga dan beberapa kegiatan lain yang bisa dilakukan secara bersama di rumah.
“Ini momen bagus untuk pennanaman nilai-nilai karakter yang kuat bagi anak-anak,” kata Jufri.
Untuk mengurangi perasaan stres siswa saat belajar di rumah, Jufri menyarankan agar guru-guru dalam memberikan tugas lebih selektif dan mempertimbangkan kondisi psikologis anak dan keterbatasan sebagian orang tua dalam mendampingi putra-putrinya.
Selain itu momen anak lebih banyak di rumah harusnya dimanfaatkan oleh sekolah untuk memberikan peran “lebih” terhadap orang tua dalam pengembangan karakter anak. Misalnya disiplin dalam memanfaatkan waktu khususnya dalam beribadah, berperilaku hidup sehat, kerja sama, saling menghormati, mandiri, inisiatif, berkomunikasi yang santun, dan sebagainya.
Ada baiknya, kata Jufri, guru-guru membangun komunikasi dengan orang tua anak sehingga proses pembelajaran di rumah dapat berjalan tanpa ada yang terbebani. Sebab komunikasi guru dan orangtua khususnya untuk penyamaan persepsi tentang tugas yang diberikan kepada anak sehingga orangtua tidak bingun atau salah persepsi dalam mendampingi anak menyelesaikan tugasnya.
“Jadi guru seharusnya lebih komunikatif kepada orangtua. Begitu juga antara penugasan dari guru kelas harus jelas sehingga tidak tumpang tindih dengan tugas guru agama,” katanya.