GOWA, UJUNGJARI.COM — Di Kabupaten Gowa, stunting kini menjadi fokus diberantas. Pemberantasannya pun dilakukan borongan dimana Pemkab Gowa melakukan secara tim dengan melibatkan berbagai sektor antara lain Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Sosial (Dinsos), Dinas Pendidikan (Disdik), Dinas Pengendalian Pendudukan dan Keluarga Berencana (DPPKB), hingga kader-kader Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Salah satu sektor penting yang ada didalam tim pengentasan stunting di Gowa ini adalah Dinas PMD. Kepala Dinas PMD Gowa Muh Asrul saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (6/2/2020) sore menjelaskan bahwa penanganan stunting di Gowa bukan hanya tanggung jawab Dinkes tapi menjadi tanggung jawab bersama.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada Dinas PMD, anggaran untuk stunting pun ada. Khusus di PMD sudah dilakukan sosialisasi dan sudah dilakukan pelatihan secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, kelurahan dan desa dalam rangka pencegahan stunting. 

” Alhamdulillah kita juga sudah bentuk setiap desa yakni kader pembangunan manusia yang akan mengawal posyandu-posyandu yang ada di semua desa. Kita berharap bahwa orang hamil memeriksakan kehamilannya di posyandu minimal empat kali pada masa kehamilan begitu juga pada anaknya ketika lahir harus juga diperiksa kondisi anaknya di posyandu, melakukan penimbangan, pengukuran dan melihat status gizinya. Itu yang harus dilakukan karena kelemahan yang ada selama ini, yang kami temukan di lapangan adalah kurang sadarnya masyarakat atau ibu hamil memeriksa kandungannya bgitu juga kesehatan bayinya di Posyandu,” jelas.

Karena itu kata Asrul, agar upaya penanganan pengkerdilan tubuh atau stunting maksimal maka mulai tahun 2020 ini,  di desa dilakukan penyiapan pembiayaan sebesar Rp 50 ribu per orang untuk dipergunakan kader posyandu di lapangan.

” Kalau ada orang hamil yang tidak memeriksakan kandungannya maka harus dikunjungi rumahnya, begitu juga untuk balita. Jadi tidak ada lagi alasan kader-kader Posyandu di desa untuk tidak turun ke rumah warga dengan alasan bahwa saya (kader posyandu, red) tidak bisa kunjungi karena tidak ada uang bensin atau uang transpor. Biaya transpornya kita telah siapkan dalam ADD desa, jadi tidak boleh lagi ada alasan. Pemerintah desa sudah siapkan itu. Insha Allah tahun ini kita sudah bisa tangani maksimal stunting itu,” jelas Asrul.

Dijelaskan Asrul, terkait anggaran per desa untuk biaya operasional kader posyandu (penyuluh), setiap desa telah berikan insentif bagi kader-kadernya tersebut khususnya insentif bagi kader pembangunan manusia.

Tapi nilainya tidak merata satu desa berapa. ” Kita ukur berapa orang hamil berapa balita di desa itu baru kita kalikan Rp 50 ribu per kepala, jadi jumlah orang hamil dan balitanya yang kita hitung lalu dikalikan biaya operasional itu. Itulah yang dipakai untuk mengunjungi orang yang malas memeriksakan kandungannya maupun malas periksakan balitanya. Selama ini capaian dibawah sangat rendah sekali. Baru mencapai 60 persen yang datang memeriksakan kandungan dan anaknya. Kita kuatir jangan sampai yang tidak datang itu yang kena stunting tidak bisa terjaga dengan baik makanya perlu ditahu karena pencegahan stunting itu kan hanya tiga hal yang harus dijaga,” jelas Asrul.

Tiga hal penting tersebut sebut Asrul yakni harus tahu berapa jumlah pasangan usia subur yg ada di desanya, harus tahu berapa orang hamil dan berapa balita serta brapa anak yang berumur 2-6 tahun. 

” Data itu harus riil tidak bisa hanya mereka-reka. Seperti halnya data stunting di Gowa yang dirilis dari pusat itu sebanyak 44 persen penderita stunting padahal tidaklah demikian. 44 persen itu dilakukan secara riset bukan fakta. Kami (PMD) dan Dinkes sudah berupaya dengan aplikasi yang terbangun di masing-masing Posyandu. Data yang kami miliki sekarang untuk Gowa secara keseluruhan adalah 8,3 persen penderita stunting, bukan 44 persen. Persentase ini pun masih berbeda ukuran antara PMD dengan Dinkes. Kalau sistem penilaian stunting oleh Dinkes dilakukan berdasarkan ukuran pendek dan sangat pendek, sedang di PMD kami mengukur stunting berdasar indikator hijau, merah dan kuning. Kalau hijau sangat sehat, kalau kuning agak sakit tapi belum tentu stunting dan warna merah berarti sudah stunting. Inilah yang harus dikonekkan sehingga cara pengukurannya benar. Kalau berdasar indikator pendek maka saya ini juga hisa dikategorikan stunting karena saya pendek. Jadi tidak boleh kita berpatokan pada ukuran pendek,” papar Kadis PMD Gowa.

Berdasarkan temuan di lapangan, kecamatan yang paling tertinggi angka anak stunting adalah Bontonompo Selatan kemudian menyusul Bontonompo. Untuk Bontonompo Selatan sebesar 20 persen lebih stunting.

Dikatakannya, orang stunting  itu penanganannya bukan hanya satu jenis. Jadi harus ditahu dulu anak itu stunting karena apa. Paling dominan penyebab stunting adalah orangtuanya  perokok. Ada juga karena air bersihnya yang tidak sesuai level bersih, ada juga karena lingkungannya kumuh, ada juga karena tidak punya jamban (sekarang Gowa sudah bebas ODF atau masyarakatnya sudah menggunakan jamban). 

” Penyebab tertinggi stunting di Gowa adalah rokok. Itu indikator penyebab tertinggi dari sekian penyebab stunting,” tambahnya. (sari)