MAKASSAR, UJUNGJARI–Pakar Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin, Prof Dr. Slamet Sampurno Soewondo SH.MH, angkat bicara terkait kasus korupsi pengadaan obat dan barang habis pakai RSUD Andi Makkasau Parepare di Pengadilan Tipikor Makassar, yang perkaranya sudah tahan vonis di Pengadilan Tipikor Makassar.
Prof Slamet yang dihubungi, Kamis (23/1/2020) menegaskan, penegakan hukum harus berjalan objektif. Salah satunya dibuktikan dengan penerapan pasal pasal secara cermat dengan alat bukti yang kuat dalam menjerat pelaku korupsi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kata dia, penerapan pasal 2 dan pasal 3
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi harus diterapkan secara cermat serta tepat. Alasannya, penerapan pasal ini tidak bisa digunakan untuk menjerat pelaku korupsi yang tidak memiliki kewenangan langsung dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara.
Adapun bunyi Pasal 2 ayat (1) UU tipikor, “(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Kemudian, Pasal 3 berbunyi “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Diketahui, tiga terdakwa kasus dikenakan pasal 2 dalam dakwaan primer. Sedangkan dakwaan subsider dikenakan pasal 3.
Terpisah, Pengacara senior Faisal Silenang sebagai kuasa hukum Muhammad Syukur satu dari tiga terdakwa mengaku heran dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang memberikan tuntutan yang sama kepada tiga terdakwa yakni satu tahun enam bulan penjara.
“Ketiga orang terdakwa faktanya jelas memiliki jabatan dan perbuatan berbeda, satu direktur selaku KPA, satunya lagi bendahara satu lagi klien saya PPK, kan tidak sesuai dengan teori hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dihukum atas perbuatannya sendiri-sendiri,” ungkapnya.
Menurut Faisal, pidana penjara selama satu tahun berikut kewajiban membayar denda Rp50 juta dianggap Faisal terlalu berat, lantaran kliennya sesuai fakta sidang hanya berperan layaknya jasa juru ketik.
Bukan hanya itu. Faisal juga sangat menyayangkan masalah buronan dua terdakwa korupsi, dr Muh Yamin dan Taufiqurrahman, saat kasus ini dalam proses penyidikan, tidak masuk dalam unsur yang memberatkan dalam fakta persidangan. Selama ini, hanya kliennya yang bersikap kooperatif menjalani proses hukum.
“Dalam pledoi saya, saya meminta hakim mempertimbangkan bahwa klien saya hanya berperan ibarat jasa juru ketik komputer saja,” terangnya.
Faisal juga mengaku sangat kecewa lantaran hakim tidak mencermati kesalahan JPU yang gagal mengikuti perkembangan hukum terbaru, lantaran masih merujuk pada Permendagri No 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD, sementara telah keluar peraturan yang baru yakni Permendagri No 79 Tahun 2018 tentang BLUD.
Kata dia dalam Permendagri No 79 Tahun 2018 tentang BLUD tersebut dalam pasal 98 menyatakan “Apabila terjadi kerugian negara dalam BLUD yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalaian seseorang maka harus dilakukan proses penggantian kerugian negara merujuk pada peraturan perundang-undangan”.
“Nah peraturan itu ada pada peraturan pemerintah No 38 tahun 2016, disitu dijelaskan ada majelis penggantian kerugian negara, sementara klien saya sama sekali tidak pernah dirujuk ke majelis tersebut, malah klien saya ditersangkakan 17 Desember pada tahun 2019 dimana jelas-jelas Permendagri No 79 Tahun 2018 sudah keluar karena telah diundangkan sejak 4 September 2018” pungkasnya.
Diketahui Kamis 16 Januari 2019 lalu, Muhammad Syukur dan dua rekannya masing-masing Direktur RSUD Andi Makkasau Muhammad Yamin dan Bendaharanya Taufiqurrahman dijatuhi vonis sesuai pasal subsider yakni pasal 3 Undang-undang Tipikor Jo Pasal 55 KUH Pidana.
Muhammad Yamin sendiri divonis 1 tahun 3 bulan dipotong masa tahanan 6 bulan berikut denda Rp 50 juta. Sementara kedua terdakwa lainnya masing-masing 1 tahun penjara dipotong masa tahanan 6 bulan dengan denda Rp50 juta.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai Widiarso dengan dibantu dua anggota majelis yakni Ibrahim Palino dan Rostan menganggap pasal primer ke satu yakni sesuai pasal 2 undang-undang Tipikor Jo pasal 18 Jo pasal 55 dan 65 KUHpidana tidak terbukti.
Kendati pasal subsider sesuai pasal 3 Undang-undang Tipikor jo pasal 55 dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan untuk ketiga terdakwa. (*)