MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Kuasa Hukum terdakwa Muhammad Syukur, selaku mantan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam perkara dugaan korupsi pembayaran pengadaan obat, alat dan bahan habis pakai, di RSUD Andi Makkasau, Kota Parepare, menilai vonis majelis hakim tidak obyektif dan keliru dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum, dalam sidang putusan, Kamis (16/1/2020).
Hal tersebut diungkapkan oleh Faisal Silenang, selaku kuasa Hukum terdakwa (Muhammad Syukur). “Kami menilai vonis Majelis Hakim diduga hanya berdasarkan asumsi, tanpa mempertimbangkan fakta yang terungkap dalam persidangan kasus ini,” ungkap Faisal Silenang, Minggu (19/1).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Majelis Hakim menyatakan jika terdakwa Muh Syukur (PPK), terbukti melanggar pasal 3 undang-undang Tipikor, Juncto pasal 55 ayat (1) ke-(1). Dengan pidana penjara selama 1 tahun, denda Rp50 juta, subsidaer 3 bulan kurungan.
Sejatinya menurut Faisal Silenang, jika unsur melawan hukum dan unsur memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi, seperti yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) undang-undang Tipikor. Tidak dapat dibuktikan dalam dakwaan primair.
“Apa yang mau dibuktikan kalau dalam dakwaan primairnya itu tidak terbukti. Maka dakwaan yang subsidaernya tidak perlu lagi dibuktikan,” tandasnya.
Karena menurut Faisal, apa yang dijadikan dasar dalam dakwan primair, terkait kerugian negara Rp2.323.452.880. Itu telah terpulihkan sejak tanggal 31/7/2018, berdasarkan laporan hasil audit perhitungan kerugian negara oleh BPKP Sulsel. Nomor :SR-456/PW21/5/2018, tanggal 31 Juli 2018.
Sebelum perkara ini ditingkatkan ke tahap penyidikan pada tanggal 17 september 2018, berdasarkan SPRINDIK Kajari Parepare nomor: PRINT-839/R.4.11/ Fd.1/09/2018.
“Harusnya ini dijadikan pertimbangan majelis hakim dan JPU, sebelum menjatuhkan tuntutan dan putusan di persidangan terhadap klien kami,” ujar Faisal.
Bahkan ironisnya lagi kata Faisal, bagaimana mungkin kliennya yang selaku PPK dalam proyek tersebut. Dianggap ikut terlibat secara kewenangannya, menikmati uang, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
“Proyek ini kan pengadaannya sistem E-Catalog. Artinya permintaan barangnya itu langsung ke distributor. Bukan melalui melalui sistem lelang biasa,” bebernya.
Selain itu juga dalam dakwaan dan tuntutan JPU, unsur-unsur pasal, salah satunya terkait Permendagri No 61 tahun 2007 yang dijadikan landasan dalam amar tuntutan JPU, telah diubah.
Dengan Permendagri No 79 tahun 2018, tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan BLUD.
“Masa perturan yang sudah dirubah, masih dijadikan landasan hukum oleh JPU, dalam dakwaan dan tuntutannya. Maka dari itu kami minta Kajati, agar jaksa yang menyidangkan kasus ini dievaluasi karena ini dapat mencederai rasa keadilan masyrakat,” pungkas Faisal Silenang. (mat)