MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Berita tentang akan digunakannya Gedung Kesenian Societeit de Harmonie di Jalan Riburane Makassar sebagai sekretariat KNPI Sulsel membuat para budayawan dan seniman meradang.
Berdasarkan salah satu sumber bahwa sejarah gedung ini yang dibangun tahun 1896. Dulunya difungsikan sebagai tempat bertemu atau perkumpulan dagang dari para pedagang Belanda pada masa itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu juga kerap digunakan sebagai tempat menerima tamu pemerintah kolonial, baik dari Belanda maupun dari negara Eropa lainnya, termasuk di antaranya untuk pelantikan raja-raja di Sulawesi dalam masa pemerintahan kolonial Belanda.
Semenjak Indonesia merdeka, gedung ini terus mengalami pergantian peruntukan.
Tahun 1950 misalnya gedung ini digunakan sebagai Gedung Badan Pertemuan Masyarakat, dan pada tahun 1960 menjadi Balai Budaya.
Lalu, berturut-turut pernah menjadi Gedung Veteran, LPPU Departemen Penerangan RI, Gedung DPRD Provinsi, Gedung Pusat Penataran P4 dan terakhir ini digunakan sebagai Gedung Kesenian Provinsi Sulawesi Selatan “Societeit de Harmonie” yang sangat standar untuk menampilkan pagelaran seni budaya lokal, nasional, maupun internasional.
Jika pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberi dukungan penuh baik dalam penataan sarana prasarana, dukungan konsep idealisme pertunjukan seni-budaya, serta wadah simpul interaksi antarbudaya, antarpersonal, antar birokrasi dan seniman, serta bagi masyarakat umum.
Gedung ini jika dioptimalkan sebagai representasi sejarah dan kebudayaan, akan sangat pantas dijadikan sebagai salah satu ikon budaya Sulawesi Selatan, meski dengan ciri khas master piece bangunan Eropa abad 18.
Menilik sejarah penggunaan gedung ini, adalah sangat wajar jika terjadi arisan pengunaannya secara bergradasi yang boleh dibilang tanpa konflik yang berarti.
Sebab, memang situasi dan dinamika kemasyarakatan saat itu sangat kurang kondusif dalam mengspesifikasi ekspresi dan gaya hidup dalam situasi serba terbatas.
Sepotong cerita masa lalu di atas, akan sangat berbeda jika kita angkat dalam situasi kekinian, di mana spesifikasi kehidupan dalam berbagai ekspresinya sangat beragam, baik individu maupun kelompok-kelompok profesional, dan kelompok masyarakat.
Dengan begitu mestinya dijadikan sebagai modal dasar yang punya potensi membangun peradaban modern berlandaskan pada kebudayaan lokal.
Semua ini akan kontribusi besar untuk kemajuan (daerah-nasional) jika spesifikasi aktivitas-aktivitas masyarakat terhimpun dan terwadahi secara formal terstruktur dalam area yang juga termasuk dalam aura cagar-cagar budaya yang mungkin tergolong “sakral”.
Pada posisi inilah pemerintah daerah perlu mengintensifkan komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat melalui bidang-bidang pemerintahan yang berkesesuaian dengan tupoksinya (Dinas, UPT) agar mampu memahami roh dari aktivitas bidang kehidupan dengan atmosfir lingkungannya.
Dengan demikian, jika diibaratkan sebuah buku, maka antara sampul dengan isinya klop, nyambung, seiring sejalan. Maka inilah inti “Kebijakan yang Bijak”.
Sebaliknya jika konsep yang Bijak sudah diposisikan di hulu oleh pemerintah, maka idealnya para budayawan harus membangun “Kebajikan” hingga ke hilir tentu dengan program yang telah disepakati yang diyakini ada nilai-nilai luhur di setiap etape yang ada.
Tidak elok jika masing-masing jalan sendiri-sendiri tanpa sebuah ikatan simpul yang menjadi tujuan bersama. Membangun kebudayaan selalu dimulai dari keberagaman (diversity) utk mencapai kesatuan (unity).
Ibarat sepak bola : ada penonton (ada teriakan, ada tangis) ada pemain, ada wasit, ada keamanan, ada tukang parkir, ada wartawan, ada warung, dan lainnya.
Intinya sekecil apapun itu, kontribusi terhadap kesatuan pasti dibutuhkan.
Moga-moga berita tentang deal antara Pemprov Sulawesi Selatan dengan KNPI untuk menempatkan KNPI Sulsel di Gedung Societiet de Harmonie hanya wacana yang keliru menempatkan isi pada sampul yang salah.
Segenap budaya pun harus terus membangun Kebajikan tanpa konfrontasi yang juga menempati sampul yang keliru.
Perpaduan Kebijakan dan Kebajikan merupakan “master piece” yang dapat membanggakan bersama di Sulawesi Selatan yang terepresentasi di Gedung Societiet de Harmonie. Amin.
● Karta Jayadi (Dosen UNM Makassar)