MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Susunan komposisi kabinet Jokowi-Maruf baru saja diumumkan. 34 nama resmi bertugas untuk menjalankan tugas-tugas kepresidenan sesuai bidangnya.
Ada yang di pos lama untuk melanjutkan program yang belum selesai, ada juga pergeseran dan sebagian lainnya orang baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari sisi usia saya kira terwakili generasinya, dan keberlanjutan program juga terakomodasi. Di sisi lain, soal representasi masih banyak yang kritik baik dari pendekatan keorganisasian maupun geografis dan daerah.
Jika ingin diakomodasi semua kelompok kepentingan dan perwakilan maka jumlahnya bisa mencapai ratusan menteri, sementara UU No. 39/2008 tentang kementerian negara membatasi maksimal 34 orang.
Masyarakat dan parpol harus menyadari bahwa penyusunan menteri yang merupakan pembantu Presiden merupakan hak prerogatif Presiden terpilih untuk menyusun dan mengangkat para pembantunya itu.
Tentu saja seenaknya, tetapi tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada terutama UU Kementerian Negara juga asas- pemerintahan yang baik (Good Government) seperti asas profesionalitas, proporsionalitas dan akuntabilitas.
Artinya, orang yang ditempatkan sebagai menteri haruslah tahu dan ahli di bidangnya masing-masing bukan sekedar didudukkan pada kementerian tertentu namun nihil kemampuan.
Pada kementerian penugasannya dia adalah pemimpin, pemegang otoritas kebijakan strategis nasional yang bertujuan pencapaian visi misi dan pelaksanaan program yang telah dirumuskan oleh Presiden dan wakil presiden.
Namun demikian sebagai hak presiden selain pertimbangan profesionalitas tentu juga ada target dan capaian tertentu yang ingin diwujudkan oleh si pemberi mandat yakni presiden. Disini soal aspek politik tidak dapat dihindarkan.
Kecewa tentu biasa saja seperti dikemukan ormas Islam tertentu, namun penempatan orang disuatu kementerian Presiden Jokowi sudah memikirkannya secara matang dan terencana dengan baik. Jadi anggap biasa saja, toh memang kewenagan mutlak ada di Presiden.
Yang aneh, kalau hak presiden tersebut banyak dicampuri oleh orang atau kelompok lain. Mengusik kewenangan mutlak presiden sama saja dengan melemahkan sistem presidensial yang kita ingin kuatkan bersama-sama.
Jadi mestinya, konsisten dengan semangat itu? Toh juga yang bertanggungjawab adalah presiden.
Banyak orang merasa pintar untuk menduduki jabatan menteri sehingga sibuk melakukan tawaf bahkan kadang-kadang melempar jumrah (menjelek-jelekkan) orang atau kelompok tertentu untuk kepentingannya semata.
Padahal yang dibutuhkan adalah orang yang lebih banyak yakni pintar merasa.
Ini yang kurang di kita saat ini, “pintar merasa” sehingga tidak perlu grasak grusuk hanya menduduki kursi menteri.
Jabatan itu bisa memuliakan seseorang, namun bisa juga menghinakan diri, keluarga dan bahkan tempat asal daerah. Kan banyak yang ditangkap KPK saat mereka bertengger sebagai pejabat.
Semua itu karena kurangnya integritas pribadi, konsistensi dengan sumpah dan sikap serakah yang membumbung.
Pakta integritas yang diteken para menteri tidak akan berguna jika soal integritas, pengabaian sumpah jabatan dan sifat serakah harta benda masih menjadi incaran dalam jabatannya.
Harusnya, hal demikian sudah selesai dengan dirinya dan berpikir semata-mata dedikasi dan pengabdian yang tulus kepada negara dan bangsa. Itu baru Top dan negarawan bukan hartawan.
Dalam pandangan lain, hemat saya jabatan wakil menteri tidak diperlukan kecuali Presiden Jokowi terlalu akomodatif dalam struktur pemerintahan.
Selain karena pertimbangan jabatan Wamen tidak dikenal dalam UU kementerian negara, juga akan makin membebani keuangan negara yang saat ini tengah bertumpuk utang kita, juga kadang memunculkan konflik dan matahari kembar dalam satu kementerian.
Fakta-fakta perseteruan antara menteri dan Wamen ya telah banyak terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Pada akhirnya saya mengucapkan selamat bekerja dan selalu mengkritisi secara konstruktif kebijakan pemerintahan jilid II Presiden Jokowi sembari memberikan saran dan usulan solutif dan terpercaya.