GOWA, UJUNGJARI.COM — Tragedi Wamena 23 September 2019 lalu adalah hal paling buruk dalam hidup Nurul Yaqin, seorang Dai Pedalaman Wamena yang kini telah meninggalkan tanah Wamena dan kembali ke Gowa.
Berbekal pinjaman dari seorang dermawan di Jayapura, Nurul Yaqin memboyong istri, dua anaknya yang masih kecil serta seorang adiknya kembali ke Kabupaten Gowa, provinsi Sulawesi Selatan.
Sejak kejadian kerusuhan Wamena yang menghilangkan nyawa 33 orang warga pendatang, Nurul Yaqin yang juga bekerja sebagai staf di kantor Pos Wamena itu mengaku trauma untuk kembali ke Wamena dalam waktu dekat.
Tanpa merisaukan harta bendanya yang ditinggal pergi di Wamena, Nurul Yaqin yang hanya sempat membawa pakaian di badannya itu sempat pula menginap selama enam hari di Kodim 1702 Wamena dan sebelumnya Nurul Yaqin bersama istrinya Titin Irayani dan dua orang anaknya Arsila Nahwa dan Dzaki Zafran Syabani serta adiknya sempat bersembunyi di rumah seorang kepala suku bernama Lio Kusai di Jl Honai Lama Wamena. Karena diselamatkan kepala suku, Nurul dan Keluarga lolos dari maut.
“Delapan jam saya dan keluarga bersembunyi di rumah kepala suku Lio Kosai saya diselamatkan oleh beliau sampai akhirnya TNI dari Kodim 1702 datang menjemput semua warga pendatang termasuk saya dan keluarga untuk disatukan di Kodim 1702 sebagai pusat pengungsian para pendatang. Saya dan keluarga tidak bisa kemana-mana. Saya dan semua warga pendatang dari berbagai daerah luar Papua berada di Kodim sambil menunggu pesawat TNI hercules untuk membawa kami semua pulang ke Makassar,” beber Nurul Yaqin yang ditemui di rumah keluarganya di Griya Majannang Permai Pallangga, Sabtu (5/10/2019) kemarin.
Nurul Yaqin lalu mengisahkan kerusuhan Wamena yang membuatnya trauma. Dibeberkannya, pagi itu Senin (23/9/2019) arus lalulintas kendaraan di Jalan Timur Kota Wamena tampak normal, cuaca pagi itu juga cerah berawan.
Nurul Yaqin tiba di lantor Pos tempatnya bekerja sekitar pukul 08.00 Waktu Indonesia Timur. Aktivitas di kantor berjalan seperti biasanya. Menurutnya tidak ada tanda-tanda akan terjadi kerusuhan yang sampai menewaskan 33 orang dalam sehari.
“Tidak ada tanda-tanda sebelumnya, hari Senin itu semua siswa sekolah tetap belajar, sekolah juga tidak diliburkan, semuanya seperti biasa,” kata Nurul Yaqin.
Hanya berselang beberapa saat, tepatnya sekitar pukul 09.00 WIT pagi semua yang tampaknya biasa-biasa saja langsung berubah mencekam dan menakutkan. Saat itu dirinya tengah masih bersih-bersih dalam kantor Pos Kota Wamena Papua.
“Selesai bersih-bersih di kantor tiba-tiba ada orang teriak-teriak dari luar kantor katanya ada kerusuhan dan pembakaran. Saya kaget, kan selama ini masyarakat sipil baik-baik saja. Kita tidak pernah mendengar apa-apa. Jadi kejadiannya betul-betul secara tiba-tiba,” ungkap Nurul Yaqin yang sudah lima tahun mencari nafkah di Wamena ini.
Nurul Yaqin melihat pembakaran, pengrusakan dan suara teriakan di pusat Kota Wamena. Gumpalan asap hasil pembakaran terlihat menjunjung tinggi ke langit.
Peristiwa yang membuat ribuan orang harus mengungsi tersebut merupakan kejadian pertama yang Nurul Yaqin alami semenjak berada Wamena sejak lima tahun lalu. Tanpa berpikir panjang Nurul Yaqin langsung menuju rumah kontrakannya di Jalan Honai Lama Wamena untuk menemui Istri dan anak-anaknya.
” Istri saya menelepon katanya ada kerusuhan dan sayakan punya dua anak kecil. Saya bergegas pulang dan kemudian bawa istri dan anak saya bersembunyi di dalam rumah tuan tanah yang juga kepala suku di situ beliau bernama Lio Kosai,” kata Nurul Yaqin.
Selama kurang lebih delapan jam, Nurul Yaqin bersama keluarganya bersembunyi di rumah kepala suku. Sekitar pukul 16.00 WIT sejumlah aparat Kepolisian dan TNI mulai mengevakuasi warga sekitar termasuk dirinya untuk mengungsi ke Kodim 1702.
Situasi sangat mencekam sore itu sehingga Nurul Yaqin tak sempat menyelamatkan harta benda yang dimilikinya. Nurul Yaqin dan keluarga hanya menyelamatkan diri dengan pakaian melekat di badan saat itu.
Selama enam hari di Kodim 1702 bersama ribuan pengungsi lainnya, Nurul Yaqin menikmati hidup dalam ketakutan. Secara giliran para pengungsi diterbangkan ke Jayapura menggunakan pesawat hercules milik TNI Angkatan Udara (AU).
“Untuk bisa menggunakan hercules, kami harus menunggu karena orang berdesak-desakan untuk naik hercules jadi harus nunggu giliran. Satu minggu saya ngungsi di Kodim, habis itu saya ke Jayapura rumah keluarga,” kisahnya.
Setelah dua hari mengungsi di rumah keluarga di Jayapura dan melihat kondisi Wamena yang masih mencekam, Nurul Yaqin memutuskan untuk membawa keluarganya kembali ke Gowa. Berkat pinjaman uang, ia akhirnya menggunakan pesawat komersil untuk membawa keluarganya kembali ke Kabupaten Gowa.
“Dari Jayapura ada dermawan membantu saya, saya pinjam uangnya untuk beli tiket. Yang penting bisa kembali dulu ke Makassar lalu ke Gowa,” ungkapnya.
Nurul Yaqin yang ditemui di rumah keluarganya di Desa Bontoala Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa juga mengungkapkan bahwa keberadaan di Wamena sejak 2015 lalu karena ditugaskan sebagai Dai pedalaman dari Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Jawa Timur.
Selama menyebarkan syiar Islam di tanah Papua tersebut, Nurul Yaqin mengungkapkan bahwa tidak ada kendala berat yang dia hadapi. Bermodalkan ilmu agama hasil mondok di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Jawa Timur, Nurul Yaqin terus berdakwah dari masjid ke masjid.
Memanfaatkan waktu luangnya, selain sebagai pegawai di Kantor Pos, ia juga memanfaatkan waktunya untuk mengajar mengaji anak-anak penduduk muslim. Selama perjalanan dakwahnya, Nurul Yaqin mengaku juga sudah mengislamkan beberapa warga non muslim.
“Selama ini saya di sana itu ngajar anak-anak ngaji. Artinya selama ini saya bersama masyarakat Papua itu baik baik saja. Orang Papua itu semuanya baik-baik orang Papua semuanya ramah-ramah. Cuma ini adalah musibah bagi kita semua kita harus bersabar,” ucapnya.
Ditanya kapan kembali ke Wamena, Nurul Yaqin ngaku berpikir tiga kali. Menurutnya peristiwa kerusuhan, perusakan, pembakaran dan teriakan yang terjadi di depan mata masih terngiang-ngiang di ingatannya. Rasa trauma yang ia alami bersama keluarga membuatnya harus berpikir panjang untuk kembali ke Wamena.
” Kita lihat kondisi dulu saya sendri masih trauma melihat kejadian itu. Wallahu ‘alam kita tidak tahu kedepannya bagaimana. Kalau misalnya ada yang lebih baik untuk sementara saya di Gowa dulu. Untuk sementara saya bertahan di sini dulu siapa tahu nanti ada jalan lebih baik,” harapnya.
Di Kabupaten Gowa sendiri, Nurul Yaqin mengaku tidak membawa apa-apa kecuali pakaian yang melekat di badan. Untuk menopang kebutuhan makan dan minum diperolehnya dari beberapa bantuan dermawan di Pallangga Sementara itu, saat ini Nurul Yaqin tinggal di rumah keluarga istrinya di Griya Majannang Permai Desa Bontoala Kecamatan Pallangga. (saribulan)