GOWA, UJUNGJARI.COM — Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang Gowa menggelar seminar bertajuk Cegah Kawin Anak Menuju Gowa Kabupaten Layak Anak. Seminar yang dirangkai konferensi II KPI Cabang Gowa yang berlangsung sehari di gedung Wanita Jl Habibu Kulle, Sungguminasa, Senin (30/9/2019) siang dihadiri Presidium KPI Nasional Ema Husain.
Seminar yang dibuka Wakil Bupati Gowa diwakili Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Gowa Khawaidah Alham ini diikuti seratusan anggota KPI se Gowa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekretaris Wilayah KPI Sulsel Lina May mengatakan selama ini KPI terbentur aturan undang-undang yang menggariskan usia kawin 16 tahun. Padahal secara umum KPI menganggap usia 0-18 tahun itu adalah usia anak-anak. Melihat aturan ini dan banyaknya persoalan yang muncul disebabkan perkawinan anak dilegalkan pada usia 16 tahun membuat KPI bergerak mengajukan revisi undang-undang usia kawin anak ini.
” Melihat kondisi persoalan rumah tangga banyak mendominasi pada pasutri usia 16 tahun itu membuat kami bergerak mengajukan revisi ke Mahkamah Konstitusi. Akhirnya permohonan kita pun dikabulkan MK dan menetapkan usia kawin itu pada 19 tahun,” jelas Lina May.
Hal senada dikatakan Presidium KPI Nasional Ema Husain. Menurut Ema, upaya KPI selama ini dalam mempressure penetapan usia kawin di atas 18 tahun itu sempat terhambat dua kali di MK.
” MK sempat tidak menggubris permintaan KPI tapi kami kekeh dan kemudian memperlihatkan bukti nyata seorang perempuan kawin muda dengan segala permasalahan yang dihadapinya. Akhirnya MK pun merestui permohonan KPI bahkan MK menetapkan usia kawin itu pada 19 tahun. Jadi dalam UU usia kawin sekarang adalah usia 19 tahun bagi perempuan dan lakilaki,” terang Ema.
Ema pun berharap dalam konferensi yang dilakukan KPI Gowa nantinya dapat melahirkan berbagai kebijakan yang akan dijadikan program prioritas bagi KPI untuk menjalankan gerakannya memperjuangkan hak-hak perempuan.
Terkait KPI ini, Ema menjelaskan KPI adalah salah satu lembaga atau perkumpulan perempuan yang berkonsentrasi pada isu-isu anak. Dijelaskannya, struktur KPI ini berjenjang mulai dari sekretaris jenderal (pusat), sekretaris wilayah (provinsi) dan sekretaris cabang (kabupaten) sedang di pusat jenjang tertinggi adalah presidium. Keanggotaan KPI menyebar dan dihuni berbagai profesi termasuk ibu rumahtangga.
Wakil Bupati Gowa melalui Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Gowa Khawaidah Alham mengatakan anak adalah investasi di masa depan. Sehingga perlu pemerintah dan KPI bergerak memberi perlindungan kepada anak.
” Adanya kawin anak di usia dini itu disebabkan karena himpitan ekonomi, pendidikan yang minim serta penggunaan medsos yang tidak bijak. Karena itu cegahlah anak-anak kita untuk tidak terjerumus dan jadi korban dalam kawin anak ini,” jelas Khawaidah yang juga tampil sebagai narasumber dalam semonar KPI bersama Kadis Sosial Gowa Syamsuddin Bidol dan Warida dati Koorwil KPI Sulsel.
Sementara itu Ketua Panitia Seminar dan Konferensi II KPI Gowa Hasniaty Hayat menjelaskan bahwa seminat yang dilakukan ini sebagai upaya mengingatkan seluruh masyarakat dan stakeholder untuk membangun komitmen bersama untuk mencegah melalui upaya strategis.
” Kita harapkan melalui seminar ini kita dapat melakukan koordinasi untuk menemukan akar permasalahan dan pemecahan dalam mencegah sekaligus memberikan perlindungan kepada anak sesuai hak dasarnya yang tercantum dalam UU RI No 23 tahun 2002. Kita juga berharap KPI dapat bersinergi mengawal pelaksanaan pengembangan Kabupaten Layak Anak yang saat ini dikembangkan di Kabupaten Gowa,” jelas Hasniaty Hayat.
Dikatakannya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sabgat memprihatinkan dimana 1 dari 4 atau 23 persen anak perempuan menikah pada usia anak. Setiap tahun kata Hasniaty sekitar 340 ribu anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Pada tahun 2017 persentase perkawinan anak sudsh mencapai 25,17 persen.
“Jika dilihat dari sebaran wilayah maka terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka. Praktik perkawinan anak marak terjadi karena faktor ekonomi, budaya, disertai dengan stigma yang melekat di masyarakat contohnya kekuatiran orangtua anak perempuannya akan menjadi perawan tua dan hal lainnya dengan perkawinan maka menjadi upaya menjauhkan anak dari zina,” jelas Hasniaty. (saribulan)