MEKKAH, UJUNGJARI.COM –Alhamdulillah, rangkaian pelaksanaan rukun haji telah terlaksana, niat ihram di Miqat, wukuf di Arafah, tawaf ifaadhah dan tahallul, demikian pula melontar jamrah sebagai wajib haji.
Jamaah pun resmi menyandang gelar Haji (bagi laki) dan Hajjah (bagi perempuan).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jamaah haji Sebagai tandanya, ada tradisi haji Bugis-Makassar di Tanah Suci, yang dikenal dengan istilah “Mappatoppo”.
Tradisi ini adalah simbol meletakkan peci atau sorban bagi jamaah laki-laki atau cipo-cipo kudung bagi jamaah perempuan.
Hal tersebut, ibarat wisuda sarjana bagi para pelajar setelah menyelesaikan salah satu jenjang pendidikan yang diharapkan meletakkan peci atau kudung tersebut, adalah tokoh agama atau orang yang dituakan di jamaah.
Dengan harapan mendapatkan doa, agar hajinya mabrur, dapat berkah dari Allah Swt, dan dapat istiqaamah dalam aktivitas keseharian.
Pelaksanaan Mappatoppo, bisa dilaksanakan di tenda Mina, seperti yang dilakukan, Senin (12 /8/19) bertepatan 11 Zulhijjah 1440 H, atau di hotel, penginapan di Mekkah, setelah kembali dari Mina.
Musim Haji, Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, akan terlihat lebih padat, segerombolan penumpang jamaah haji yang baru saja turun tampak sumringah.
Sembari menyeret koper, mereka menebar senyum ke sanak saudara.
Jamaah hajjah akan berpakaian sebaik mungkin berbeda dengan pakaian penumpang biasanya, para jamaah wanita yang umumnya telah berusia lanjut ini tampak mengenakan pakaian warna-warni, songkok haji, hingga keurudung yang dipenuhi manik.
Gincu sampai perona pipi tak lupa dibubuhkan pada wajahnya yang rupawan. Jamaah haji pria berbeda lagi, dengan gamis panjang (thawb) dan penutup kepala (khefiyyeh), mereka berjalan penuh keramahan menyerupai warga Arab Saudi.
Kemeriahan tak sampai di situ, setibanya di kampung halaman mereka disambut suka cita, membuat pagelaran jamuan makan sebagai bentuk syukuran dapat berkumpul bersama keluarga tercinta.
Bagaimana pandangan syariat Islam tentang budaya Mappatoppo? Bahwa ajaran Islam, juga tidak bisa dipungkiri sarat dengan berbagai simbol.
Ibadah haji, misalnya. Pakaian ihram sebagai simbol kain kafan, tawaf sebagai simbol aktivitas manusia di dunia ini, yang tidak boleh lepas dan lalai dari ingatan, zikir kepada Allah Swt, ada ka’bah sebagai simbol persatuan.
Sa’i sebagai simbol kerja keras disertai niat yang suci, serta simbol kasih sayang seorang ibu, tahallul, sebagai simbol hal-hal yang dihalalkan Allah Swt, melontar jamrah, simbol perlawanan kepada kejahatan yang disimbolkan sebagai syaitan.
Nabi Muhammad SAW mencontohkan kepada umatnya, bahwa berdoa kepada Allah Swt dapat melalui bahasa verbal, dengan kata kata, seperti doa sapu jagat, doa sebelum makan, doa keluar rumah dan lain sebagainya. Ada juga, doa dalam bentuk simbol, dinamakan “Tafaaul” istilah orang Bugis “Sennung-sennungeng”.
Tatkala musim kemarau, Rasulullah Saw, menyerukan umatnya untuk shalat Istisqa, shalat dan doa minta diturunkan hujan. Pelaksanaanya, dua rakaat, diawali khutbah, kemudian shalat dua rakaat seperti shalat Jumat. Ketika akan mengakhiri khutbahnya, Rasulullah Saw membalik surbannya, kemudian menghadap kiblat, berdoa seraya meninggikan tangannya.
Ulama memberikan penjelasan bahwa salah satu hikmahnya, Rasulullah Saw berdoa dengan simbol. Maknanya, Yaa Allah, balikkan kondisi ini, dari kemarau menjadi hujan, sama dengan simbol, Rasulullah Saw membalik surbannya. Inilah, contoh Tafaaul Rasulullah saw, berdoa dengan simbol.
Hal yang sama, beberapa kegiatan masyarakat Bugis-Makassar, mengandung tafaaul, seperti, Mappacci dalam perkawinan, masuk rumah baru, aqiqahan dan masih banyak lagi yang lainnya.
Realitanya, di kalangan masyarakat, pakai cipo-cipo sebagai simbol hajjah, namun masih kelihatan telinga dan lehernya, alangkah elok dan indahnya, apabila diparalelkan antara budaya dan agama atau antara tradisi dan hakiki.
Sebagai Hajjah yang optimal, dalam berpakaian, ada simbol tradisi dan tetap menutup aurat. Busana muslimah yang elegan dan tetap memperhatikan kearifan lokal.
Dengan esensi dan hakiki sebenarnya tradisi mappatoppo, dapat diimplementasikan dalam akhlakul karimah.
Jamaah yang telah menunaikan haji, berarti menduduki kelas lima persfektif lima rukun Islam. Yang paling penting adalah berakhlakul karimah dalam segala aspek, ibadah ritual dan sosialnya meningkat, serta istiqaamah menutup aurat pasca haji. Demi tergapainya harapan kemabruran haji.
Mappatoppo seperti Wisuda haji menurut kepercayaan bugis makassar usai melontar jumrah, wukuf dan tawaf. Mereka akan diwisuda oleh para ahli agama, atau tokoh masyarakat yang di tuakan dalam rombongan jamaah.
Belum ada sumber yang pasti terkait asal mula tradisi mappatoppo. Namun, jika menilik lebih jauh, tentu budaya mappatoppo ini berimbas terhadap kualitas ibadah seseorang lantaran memandang gelar haji sebagai bentuk ibadah dan pendekatan kepada Allah dengan mappatoppo di ibaratkan di wisuda agar di masyarakat bisa menjadi pengayom dengan perbuatan serta turut kata baik bukan semata karena status sosial. (**)