GOWA, UJUNGJARI.COM — Karaeng Pattingalloang dari Tallo (Makasssar) di masa lampau dikenal sebagai sosok yang sangat tersohor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karaeng Pattingaloang yang memiliki nama I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Patinggalloang ini adalah bersaudara dengan Sultan Malikusaid, ayah dari Sultan Hasanuddin Daeng Mattawang (Raja Gowa ke 16).
Andi Kumala Andi Idjo Karaeng Lembang Parang Raja Gowa ke 38 kepada Beritakota Makassar, Kamis (15/8/2019) petang melalui pesan WhatsApp nya membenarkan apa dan siapa sebenarnya Karaeng Pattingaloang ini yang juga adalah Perdana Menteri Kerajaan Gowa dan Raja Tallo di masa lalu.
Menurut Andi Kumala Andi Idjo, Karaeng Pattingaloang adalah raja yang tersohor di bidang sains. Karaeng Pattingaloang itu suka ilmu sains karena rasa ketertarikan yang tinggi pada ilmu pengetahuan dari barat pada abad ke-17.
Sejumlah cendikiawan barat pun mengakui kecintaan Raja Tallo ini pada ilmu pengetahuan. Para cendekian mengaku sulit menemukan raja-raja di Nusantara yang punya karakter yang sama dengannya.
Karaeng Pattingaloang adalah putra Raja Tallo ke-6. Dia lahir tahun 1600 dan bernama lengkap I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Syah.
Tentang siapa sosok putra Raja Tallo ke 6 dalam hikayat dikenal ayah Karaeng Pattingalloang bernama Karaeng Matoaya alias Sultan Abdullah Awalul Islam yang merupakan Raja Islam pertama Tallo. Karaeng Matoaya rupanya juga tertarik pada ilmu pengetahuan. Dengan ilmu yang dimilikinya maka Karaeng Matoaya bersama Sultan Gowa, menjadikan Gowa-Tallo sebagai kekuatan penting di jazirah Sulawesi Selatan.
Persekutuan Gowa-Tallo itu dikenal juga sebagai Makassar, di mana Sultan Alaudin dari Gowa menjadi rajanya dan Karaeng Matoaya dari Tallo sebagai Mangkubumi yang mengurusi segala urusan. Karaeng Pattingalloang juga ikut menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi kerajaan federasi.
Karaeng Pattingalloang adalah Perdana Menteri dan penasihat utama Sultan Muhammad Said (1639-1653), yang masa pemerintahannya kurang lebih bertepatan dengan masa dengan keemasan kesultanan.
Satu keunikan karakter Karaeng Pattingaloang karena ternyata dia pun menguasai sejumlah bahasa.
Selain penguasaan bahasa asing negeri latin, Pattingalloang yang juga dikenal dengan sebutan sang Priagung itu telah belajar bahasa latin, Spanyol dan Portugis.
Karaeng Pattingalloang meninggal dunia di tahun 1654, putranya bernama Karaeng Karunrung jadi penggantinya, yang dikenal anti-Belanda. Setelah kematian Karaeng Pattingalloang, pamor Makassar meredup karena dikalahkan VOC dan dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1669.
Kini nama Karaeng Pattingaloang tinggal nama harum. Berkat namanya yang besar itu, anak Raja Tallo ke-6 ini pun dianugerahi penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden RI yang diserahkan di Istana Negara. Penghargaan ini kata Andi Kumala Andi Idjo menjadi sebuah kesyukuran baginya.
“Tentang penghargaan ini tentu kami bersyukur karena tahun 2018 tim dari Kementeria Pendidikan dan Kebudayaan datang menemui saya untuk mengambil data-data terkait dengan Karaeng Pattingaloang dan kami memberikan seluruh data-data diri Karaeng Pattingaloang di rumah H Andi Makmun Bau Tayang dna dirumah beliau inilah ada rencana diusulkan untuk mendapatkan penghargaan kepada Presiden RI dan juga tidak terlepas dari perjuangan Dr Muis Paeni,” beber Andi Kumala Andi Idjo.
Tambah Andi Kumala Andi Idjo, penghargaan ini akan diserahkan kepada Gubernur Sulsel dan kemudian dilanjutkan penyerahannya kepada Bupati Gowa untuk nantinya disimpan di Museum Istana Balla Lompoa. Kini kata putra bungsu Raja Gowa ke 36 Andi Idjo Karaeng Lalolang yang juga Kepala Daerah Gowa pertama (sekarang Bupati Gowa), Gowa dan Tallo sudah memiliki tiga pahlawan besar yakni Sultan Hasanuddin, Syekh Yusuf Al Makassary dan Karaeng Pattingaloang. (saribulan)