MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Pada tanggal 4 Mei 1963, tepat tiga hari setelah kembalinya Irian Barat ke Pangkuan NKRI, Presiden Soekarno berpidato di depan ribuan masyarakat Irian Barat di Kota Baru, Jayapura, dan menyerukan
“Irian Barat sejak tanggal 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah!. Tidak!. Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia..”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pidato itu menegaskan bahwa Irian Barat (Irian Jaya/Papua) adalah bagian integral Indonesia yang tidak dapat diganggu gugat. Sikap Belanda yang menunda Penyerahan kembali Irian Barat merupakan bentuk agresi terhadap Indonesia sebagai Negara berdaulat penuh dan pelanggaran hukum Internasional.
Peristiwa bersejarah itu sendiri terjadi pada tanggal 1 Mei 1963 dimana secara resmi UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) menyerahkan kembali wilayah Irian Barat yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Saat itu pula Bendera Merah Putih kembali dikibarkan di Tanah Irian Barat secara gagah berani.
Segera setelah itu dipersiapkan langkah berikutnya yakni Pemungutan Pendapat Rakyat (Pepera) guna memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat untuk memutuskan nasibnya sendiri.
Penyerahan Irian Barat kembali ke Pangkuan NKRI pada tanggal 1 Mei 1963 inilah yang kemudian kita Peringati sebagai hari bersejarah bagi masyarakat Papua sekaligus seluruh bangsa Indonesia. Pepera Wujud Kehendak Rakyat.
Upaya Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat bukanlah Perjuangan mudah. Namun, telah menjadi komitmen seluruh elemen bangsa untuk membela Kedaulatannya dengan segala cara dan resikonya.
Selain diplomasi Politik melalui meja Perundingan, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan seluruh Potensi rakyat dan Angkatan Perang melalui Komando Trikora tanggal 19 Desember 1961 guna merebut kembali Irian Barat.
Panjangnya integrasi kembalinya Irian Barat ini tidak lepas dari sikap licik Belanda untuk menguasai Irian Barat.
Perundingan Politik Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Agustus 1949 Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia atas seluruh bekas wilayah jajahan Belanda, namun Irian Barat menjadi pengecualiannya.
Belanda menyatakan bahwa peralihan Irian Barat akan dilangsungkan 2 tahun kemudian setelah KMB, yang kemudian hari kembali diingkari oleh Belanda. Bahkan, Belanda kembali melancarkan Strategi Devide Et Empera dengan mendirikan Dewan Nasional Papua dan menjadikannya sebagai negara boneka untuk melawan bangsanya sendiri.
Langkah ini telah memicu seluruh kemarahan rakyat Indonesia dan membawa permasalahan Papua pada babak diambang Konfrontasi militer tahun 1961.
Sikap tegas Indonesia ini segera mendapat respon dari masyarakat Internasional.
Perundingan yang difasilitasi PBB antara kedua belah pihak menghasilkan New York Agreement pada tanggal 15 Agustus 1962 yang menyatakan bahwa Irian Barat dalam Status Quo dalam Pengawasan UNTEA/PBB sebelum diserahkan pada Indonesia.
Selain itu, persoalan reintegrasi Papua juga akan diselenggarakan melalui Referendum/Pepera guna meminta pendapat seluruh masyarakat Irian Barat mengenai statusnya untuk kembali ke Indonesia.
Pelaksanaan Pepera sebagai keputusan politik yang disaksikan oleh masyarakat Internasional sendiri kemudian digelar pada tahun 1969 atas Pengawasan PBB dan diikuti oleh seluruh Perwakilan Suku-Suku di Irian Barat dan berjalan secara demokratis serta mencerminkan keinginan mayoritas masyarakat Papua untuk kembali bergabung dengan NKRI.
Menatap masa depan kini, 51 Tahun sudah Irian Barat yang kini disebut dengan Papua menjadi bagian Integral NKRI. Selama masa itu pula, berbagai kemajuan penting telah dicapai dengan pesat oleh Papua, terutama setelah Reformasi dan Pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Persoalan Perbaikan HAM, Kemajuan Infrastruktur, Peningkatan SDM Daerah, Pemerataan ekonomi dan Percepatan Pembangunan telah menjadi Prioritas sekaligus mengalami akselerasi yang jauh lebih cepat dibanding masa sebelumnya.
Karena itu, tidak relevan lagi mempersoalkan Status Integrasi Papua kembali sebagai Wilayah Sah NKRI. Baik secara De Jure maupun De Facto, Papua merupakan Wilayah Integral Negara Kesatuan Republik Indonesia merujuk pada proses politik demokratis dalam Act Of Self Determination (Penentuan Pendapat Rakyat/Pepera) tahun 1969 yang menyatakan bahwa masyarakat Papua bergabung kembali dengan NKRI, serta Hukum Internasional yakni Resolusi PPB No. 2504 yang ditetapkan Sidang Umum PBB, 19 November 1969 tentang Pengakuan terhadap hasil Pepera.
Seluruh bangsa Indonesia harus memahami sejarahnya secara utuh dan menatap masa depan Papua dengan optimis. Seluruh perhatian dan potensi haruslah diarahkan untuk menjawab berbagai tantangan Pembangunan Papua masa kini dan cita-cita mewujudkan Kemajuan dan Kesejahteraan seluruh masyarakat Papua.
Isu-isu Separatisme, gangguan keamanan oleh OPM, Internasionalisasi masalah Pembangunan Papua dan mempersoalkan legitimasi kembalinya Papua ke NKRI hanya akan Kontraproduktif bagi kepentingan seluruh masyarakat Papua dan akan memecah belah Persatuan masyarakat Papua sebagai bagian Integral bangsa Indonesia.
Seluruh masyarakat hendaknya juga senantiasa meningkatkan kesadaran dan menolak setiap upaya berbagai Kelompok baik dalam negeri maupun asing yang mencoba untuk merongrong Kedaulatan NKRI atas Papua dan memprovokasi masyarakat agar larut dalam adu domba dan Penyesatan informasi yang dapat mengganggu jalannya roda Pembangunan Nasional di Papua.
Masyarakat Papua berhak untuk ikut serta menikmati kemajuan Pembangunan bersama NKRI dalam kondisi damai dan tenteram tanpa kembali mengusik status Papua sebagai bagian final NKRI. (Rilis)