MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Jaksa Penuntut Kejaksaan Negeri (Kejari) Gowa, menerima pelimpahan tahap dua, terhadap tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan gedung Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) di Belapunraga, Kabupaten Gowa.
Dimana diketahui dalam kasus ini, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulsel, telah menetapkan tiga orang tersangka yakni Alimuddin Anshar, selaku Direktur PT Syafitri Perdana Konsultan (pengawas), Hendrik Wijaya, selaku direktur PT Cahaya Insani Psersada (Kontraktor) dan Andi Muh Zainul Yasni SE, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Salahuddin, membenarkan terkait adanya pelimpahan tahap dua kasus tersebut.
“Tadi penyidik telah melimpahkan ketiga tersangkanya, beserta barang bukti perkaranya,” tukas Salahuddin, Rabu (16/1/2018).
Setelah menerima tahap dua tersangka tersebut, kata Salahuddin, ketiga tersangka langsung di jebloskan ke sel tahanan Tipikor di Lembaga Pemasyarakatan Lapas klas I Makassar.
“Setelah tersangka diserahkan. Jaksa penuntut langsung melakukan upaya penahanan terhadap ketiga tersangka tersebut,” tandasnya.
Dikatakannya bahwa tersangka, akan menjalani masa penahanan, hingga 20 hari kedepan. Guna kepentingan di tahap penuntutan.
Sementara Djalaluddin Djalil SH, selaku kuasa hukum direktur PT Cahaya Insani Persada Hendrik Wijaya, yang ditemui saat mendampingi kliennya, menuturkan, kami sangat menyayangkan, apa yang dilakukan penyidik dalam perkara ini.
Atas hasil audit perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel yang dianggapnya cacat prosedural dan cacat hukum.
“Kasus ini diduga terkesan sangat dipaksakan, oleh penyidik maupun jaksa,” tandasnya.
Sebab ia menilai hasil audit perhitungan kerugian negara yang dikeluarkan oleh BPKP Sulsel, dengan nomor : SR – 403/PW21/5/2018, tanggal 13 Juli 2018. Sebesar Rp7.257.363.637, atas permintaan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulsel.
Tidak mengindahkan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sulsel. Terkait temuan soal pelaksanaan pekerjaan pembangunan kostruksi. Gedung MAN IC tahun 2015, yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp113.512.678.80 dan denda keterlambatan sebesar Rp41.150.000.
“Pada dasarnya perkara ini sudah di audit oleh BPK. Disitu ada temuan mengenai volume, dan itu sudah dikembalikan serta dibayar,” beber Djalaluddin Djalil.
Ia menuturkan kliennya telah membayar denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan, sebesar Rp41.150.000 pada tanggal 1 Maret 2016. Melalui bendahara pengeluaran Kementerian Agama.
Lalu kliennya juga telah menyetorkan dan mengembalikan uang belanja modal, melalui bendahara pengeluaran Kementerian Agama. Pada tanggal 16 Agustus 2016, sebesar Rp113.512.678.80.
Namun setelah dilakukan pembayaran, kata Djalaluddin, setahun kemudian Polda Sulsel melakukan penyelidikan terhadap perkara ini. Berdasarkan surat laporan polisi nomor : LPA / 123 / VIII / 2017 / SPKT, tanggal 10 Agustus 2017.
Padahal menurutnya berdasarkan putusan MK (Mahkamah Konstitusi. “Itu sudah jelas bahwa kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Harus ada temuan dulu, baru bisa dilakukan penyelidikan dan penyidikan,” sebutnya.
Tapi kata Djalaluddin, kok Polda justru malah memperkarakan kasus ini, yang jelas-jelas kerugian negaranya sudah dipulihkan. Bahkan pihak Polda juga justru malah meminta, BPKP untuk melakukan audit perhitungan kerugian negara.
Dengan mengenyampingkan rekomendasi BPK, tentang kerugian negara yang telah di pulihkan oleh kliennya. Tapi kok malah BPKP menghitung itu sebagai kerugian total loss.
“Kerugian negaranya kan sudah dipulihkan. Artinya kan negara mengalami kerugian, karena anggarannya semua telah dikembalikan. Beserta denda keterlambatan pekerjaan proyek itu,” terangnya. (mat)